Menghempas Kehampaan

Aku merelakan diriku menghilang dari keramaian untuk sementara waktu bahkan berbulan-bulan lamanya kutelusuri jalan-jalan di perkotaan- di pedesaan. Aku akan menapaki kehidupan dan akan kumaknai sendiri nanti dari kejadian-kejadian yang nampak dan tak nampak

Tersemai makna perjalanan
Aku menuju rasa yang dalam
Dedaunan dan kerikil-kerikil menjadi teman setia, suka maupun duka
Hanya kekosongan yang aku rasakan
Dan mungkin perlahan-lahan akan menyatu

Tubuhku terasa lusuh, tak tersentuh air entah berapa waktu lamanya. Badanku mulai dekil dan bau, rambutku ikal dan gondrong, begitu pula kumis dan jenggotku yang tumbuh lebat. Pakaianku compang-camping dan kotor, begitulah aku yang saat ini merelakan diriku sebagai 'gelandangan'. Hari-hariku menempuh perjalanan yang sangat jauh, tidak menetap pada suatu tempat saja, aku berpindah-pindah tempat dari pasar, lapangan, emperan toko, rumah kosong, gubuk dan masih banyak tempat, tergantung arah mata angin membawaku melangkah.

Aku pernah berada di tempat yang sama sekali belum aku datangi sebelumnya, aku merasakan sebuah keterasingan karena hanya ada diriku disana. Ku jumpai bermacam-macam ekspresi wajah ketika orang-orang memandangku. Ada yang merasa jijik, ada yang merasa kasian, ada yang merasa keheranan dan juga ada yang merasa takut denganku. Mereka mengira aku adalah gembel yang tidak berguna di mata mereka, ketika itu aku di area pasar Maguwa yang sangat ramai. Kesendirian, keterasingan, jalan ini yang telah aku pilih sebelumnya dan aku harus siap juga untuk menerimanya.

Ketika itu aku sangatlah lapar, maka aku berusaha untuk mencari makanan yang ada, dan aku tegaskan walaupun aku tidak memiliki apa apa, tetapi aku tidak boleh mencuri. Soal makanan itu mudah bagiku, biasanya aku makan dari makanan Sisa yang aku dapatkan di sembarang tempat, atau kalau ada orang baik yang
memberiki makan aku terima

Ketika aku duduk termenung diemperan toko dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba ada seorang wanita cantik yang memberiku satu nasi kotak untuk sarapan. Dia memberikanku begitu saja kemudian berlalu, sekilas aku pandang wajahnya. Aku ingat sesuatu, sepertinya aku mengenalnya. Aku ingat-ingat lagi, ternyata dia adalah Marni. Dia adalah cinta pertamaku semasa Smp, kenapa kok dia berlalu saja? Mungkin dia tidak menyadari bahwa aku ada disini dengan penampilan seperti ini. Jadi berlalu saja, tetapi dia sempat menatapku dengan rasa kasihan.

Aku lihat betapa berbeda penampilan Marni sekarang, parasnya yang begitu sangat cantik serta tubuhnya yang begitu langsing pasti sangat memikat hati kaum hawa. Aku teringat kisahku dulu dengannya, kala aku bersamanya ke sekolah berboncengan lalu aku kayuh sepedaku dengan sangat pelan. Kami berbincang dihangatnya sinar mentari pagi, dibumbui sedikit asmara yang kami curahkan dengan sedikit tersipu malu. Terlalu asik ku berbincang dengannya hingga akhirnya kami telat masuk kelas. Begitu sedikit memori yang masih aku ingat. Sumpah, bikin baper dan bikin kangen saja aku mengingatnya. Tapi apadaya, kenangan ya tinggal saja kenangan biarlah masih melekat selamanya dihatiku

Teruslah berputar wahai sang waktu, aku tidak peduli seberapa lamanya. Karena hatiku kian gelisah diterpa rindu yang tak berkesudahan. Kadang aku menangis memaknai kehampaan yang menghempas jiwaku yang semakin rapuh. Bayangan-bayangan tentang kesedihan yang menjadikanku menangis lagi, adakah hari esok untukku? Aku pun masih merenung. Aku melihat bentangan langit, hamparan rumah dan pepohonan memenuhi pandanganku. Tangis air mata yang terjatuh tak tertahan, kemudian aku terdiam

Kehilangan arah, terasa sakit
Entah semua yang aku rasa hanyalah kesia-siaan saja
Terbanglah wahai seluruh merpati milikku
Penuhilah langit dengan putihmu
Kemudian turunlah kerumahnya
Sampaikanlah pesan-pesanku
Tapi Jika Tuhan masih membiarkan aku malu
Maka kembalilah saja

Waktu malam datang semua terasa senyap, aku tapaki trotoar jalan. Kutemukan banyak orang berlalu begitu saja mengikuti aturan-aturan yang mengikat mereka, tentang kebebasan atau mungkin tentang harga diri. Ketika hinaan yang rentan menjadikan kerusuhan dan ketika kebebasan dalam segala hal menjadikan pertengkaran, itulah mereka yang terseret oleh arus kehidupan

"Disini aku menjadi gelandangan, dimana orang bebas menghinaku seberapa kasar yang mereka mau, dan aku akan menerima tanpa beban yang berarti, apalah arti itu semua karena bagiku semua nggak ada artinya"

Melihat lampu2 yang gemerlap, mobil-truck-motor dan kendaraan lainnya masih saja menghiasi jalan. Aku mencari-cari tempat dimanakah yang aman buat tidur nanti, mungkin di kolong jembatan saja, semoga di jembatan yang aku lihat itu masih tersisa tempat yang pas buatku

Ku melangkah kesana, selamat datang di Jembatan Kehampaan. Hanyalah kegelapan yang akan kamu jumpai, kesepian jangan lagi engkau hiraukan. Sesak nafasmu tak akan lagi merintih karena engkau sudah terbiasa berteman tumpukan-tumpukan sampah yang tiada pernah habis. Bahkan nyaris ada keramaian, mungkin setan-setan saja yang ada disini, tapi aku tidak takut, karena mereka sudah aku anggap sebagai temanku sendiri dan mungkin kadang berbagi tempat tidur denganku. Kemudian mataku memejam memecah kebuntuan malam, persetan tentang apa yang terjadi esok denganku, rencana-rencana, Ah... apa itu bagiku gak penting

Berbaring di pembaringan, belum juga mata ini terpejam sempurna, aku mendengar suara lolongan yang seram, Semakin dekat kearahku. Aku buka mataku, ku melihat kedepan tampak beberapa anjing liar mencoba mendekatiku. Aku menjadi panik tak menentu, aku pun lari terbirit-birit. Aku sangat takut kepada anjing, tidak bisa aku bayangkan bilamana anjing-anjing itu menggigit tubuh pastinya bisa rabies. Aku keluar dari jembatan dengan berlari sekuat tenaga dan anjing-anjing itu masih mengejarku. Aku lihat didepan ada kayu yang lumayan besar, aku punya ide. Kugunakan saja kayu itu, aku pukulkan saja ke anjing-anjing itu satu per satu. Anjing-anjing itu pun menjauh dariku dan aku aman.
Aku harus mencari tempat  yang baru, supaya lebih aman aku harus menjauh ke arah kota saja. Aku ikuti saja jalan ini, nanti juga sampai perkotaan. Berjalan dengan memegang tongkat kayuku, tidaklah letih ayunan langkah kakiku menembus waktu. Seorang diri aku sudah terbiasa. Berteman gelap dan sepi, hanya nyanyian suara jangjrik dan suara katak yang ada dipinggiran jalan, entah ada apa dengan diriku ini aku membayangkan kehidupan manusia yang berubah-ubah, mengapa tidak menjadi diri sejati masing-masing saja

Nunggang roso ngener ing panggayuh
lunging gadung mrambat krambil gading
gegondel witing roso pangroso
nyancang jadi wasanane

Mbrebes mili banyu saking langit
tibeng kedung lumembak ing pangkon
anut nyemplung lelakon ngaurip
cumemplong roso atiku

Candrane wong nglangi
ing tlogo Nirmolo

Candrane kumambang
ing sendang Sumolo

Solan salin slagane manungso
empan papan sasolah-bawane
esuk sore rino sawengine
ajur-ajer 'njing kahanan
tan lyan gegondelan
tarlen mung wit krambil gading

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kondangan

NGLINTING MBAKO

Nonton YOWES BEN 2 di Ponorogo