RAMAYANA : Rama Mencari Guru Sejati

Rama yang sudah bertahun tahun dibesarkan dilingkup istana tumbuh menjadi pemuda yang sangat kuat, akan tetapi ia merasakan kehidupannya yang terlalu mudah dan merasa butuh tantangan yang lebih untuk menggali potensi yang ada pada dirinya, bahwa dia sangat dekat sekali dengan ibundanya, Dewi Kausala. Pada suatu kesempatan, dia meminta pendapat dari Ibunya tersebut
"Aku harus bagaimana Bu, aku ingin mengenali jati diriku yang sesungguhnya, ingin mendapatkan ilmu yang sejati"
Ibunya tertegun, dengan nada bijak dia menimpali
"Kamu harus menelusuri kehidupan diluar nak, manis maupun pahit getir kamu akan mengetahuinya dan akan ada ilmu yang tak terduga yang akan menghampirimu"
Rama masih belum paham apa yang dimaksud
"Bagaimanakah caranya Bu agar aku bisa mendapatkan ilmu yang sejati itu?"
Ibunya dengan santunnya menasehati lagi
"Nanti kamu bicarakan dengan ayahmu ya nak, dia nanti akan memberitahukan jalan untukmu mana yang terbaik untukmu"

Kemudian dia bertemu dengan Ayahnya yang kala sore itu sedang menikmati Sunset dibilik Istana sambil menyeruput Teh segar. Ditengah duduknya yang santai dia melihat anaknya yang bernama Rama datang, dia terheran kok tumben datang kemari tidak seperti hari hari biasanya. Prabu Dasarata menghardik untuk mengarahkan anak sulungnya tersebut
"Eh Rama, Sini nak ngeteh bareng Ayah, Sini duduk kemari deket Ayah"
Rama mendekati ayahnya seraya mengambil posisi duduk yang ideal, Gusti Prabu menyuruh pelayan untuk mambuatkan satu gelas teh lagi untuk anak tercintanya itu.
Prabu Dasarata  begitu syahdunya menikmati Teh sambil melihat Sunset, berasa santai kayak di pantai.
"Tumben kamu kesini anakku, Biasanya kamu main kesana kemari sampai lupa waktu"
Rama begitu malu dengan Ayahnya itu karena Perbuatannya sehari hari,
"Begini Ayah, Saya ingin meminta nasehat?"
Dengan wajah yang penuh keheranan Prabu Dasarata menimpalinya
"Nasehat apa Anakku.., akan Ayah bantu"
Kemudian tanpa berfikir panjang Rama mengutarakan Isi hatinya
"Saya ingin menemukan jati diri saya Ayah, ingin mendapatkan sebenar benar ilmu yang sejati, mohon bimbingan dan Sarannya dari Ayah"
Prabu Dasarata berfikir sejenak untuk mencarikan guru sejati untuk anaknya
"Ahaaa... Ayah ada kenalan orang Top dia Wismamitra, Guru pertapa Sakti"
Rama terkejut mendengar kalau akan dibina oleh Guru sakti dia minta satu permohonan ke Prabu Dasarata.
"Yah, aku minta ditemenin kalo sendiri  aku takut, aku mau ditemenin sama adekku si Laksmana"

Prabu Dasarata menyetujuinya untuk memberangkatkan kedua.putranya untuk berguru ke Wismamitra.

Wismamitra begitu sakti, dia merasakan bahwa Rama dan saudaranya yang akan berguru kepadanya,  ajudan memberitahukan kedatangannya kepada Raja “Begawan Wiswamitra” Begitu mendengar pesan itu, Raja bangkit dan bergegas keluar menemui tamunya. Wiswamitra, dulunya seorang raja, seorang penakluk, dan sebuah nama yang ditakuti sebelum ia melepaskan perannya sebagai raja dan memilih jadi begawan (yang ia capai melalui tapa yang keras).
"Saya kesini menjemput anak paduka Rama dan Laksamana" mendengar tutur kata sang.begawan, Prabu Dasarata bersiap rela melepas kedua anaknya untuk menimba ilmu.Tidak pakai kendaraan kuda atau sapi atau lainnya, tapi mereka jalan kaki.  Sambil mengikuti langkah guru mereka, Wiswamitra, bagaikan bayang-bayang, Rama dan Laksmana melewati perbatasan ibu kota itu dan sampai ke Sungai Sarayu, yang merupakan batas sebelah utara. Waktu malam tiba, mereka beristirahat di sebuah hutan kecil yang ditumbuhi banyak pohon dan subuh harinya mereka menyeberangi sungai itu. Ketika matahari muncul di atas puncak gunung, mereka sampai ke sebuah hutan kecil yang menyenangkan, di atasnya bergantung, laksana kanopi, asap wangi dari banyak sekali api sesaji. Wiswamitra menjelaskan kepada Rama, “Ini tempat Dewa Syiwa bermeditasi pada zaman dahulu kala dan menghancurkan dewa asmara sampai menjadi debu ketika dewa tersebut berusaha mengganggu tapanya. sejak zaman dahulu kala orang-orang suci pengikut Syiwa datang ke sini untuk mempersembahkan kurban mereka, dan gumpalan asap yang kaulihat berasal dari api upacara kurban mereka.”
Sekelompok petapa muncul dari tempat pengasingan mereka, menerima Wiswamitra, dan mengundangnya beserta kedua muridnya untuk menginap di tempat mereka malam itu. Wiswamitra melanjutkan perjalanannya lagi pada dini hari dan siang harinya sampai ke suatu kawasan padang gurun. Istilah “gurun” itu sendiri nyaris tak mampu menggambarkan kegersangan wilayah itu. Di bawah sengatan matahari yang tanpa ampun, semua tanaman telah mengering dan berubah menjadi debu. Batu dan karang remuk menjadi serbuk pasir, yang membentang teramat luas, jauh sampai ke cakrawala. Di sini setiap jengkal tanah hangus, kering, dan luar biasa panas. Tanahnya retak-retak dan pecah, di mana-mana tampak lubang-lubang besar. Di sini tidak ada perbedaan antara pagi, siang, dan malam, karena mentari seakan tak pernah terbenam dan membakar tanah itu tanpa bergerak. Tulang belulang yang sudah memutih berserakan di tempat hewan-hewan mati, termasuk tulang belulang ular besar dengan rahang menganga karena kehausan; ke dalam rahang yang menganga lebar itulah gajah-gajah dengan putus asa bergegas (kata sang penyair) mencari tempat berteduh. Semuanya, ular maupun gajah, sudah mati dan menjadi fosil. Kabut panas membubung dan menghanguskan langit itu sendiri. Sementara melintasi tanah ini, Wiswamitra memperhatikan wajah kedua pemuda itu tertekan dan bingung, dan secara batiniah mengirimkan dua mantra (Bala dan Adi-Bala) kepada keduanya. Saat mereka memusatkan konsentrasi dan mengucapkan mantra-mantra tersebut, udara yang gersang berubah sepanjang sisa perjalanan mereka dan mereka merasa seakan tengah menyeberangi sebuah sungai yang sejuk dengan angin sepoi musim panas mengipasi wajah mereka. Rama, karena selalu ingin tahu tempat yang tengah ia lewati bertanya, “Mengapa tanah ini begitu mengerikan? Mengapa tanah ini seakan dikutuk?” iya karena tanah ini dikuasai para raksasa. Rama memang manusia terpilih yang dikirimkan oleh Dewa, dia begitu kuat seperti ada campur tangan dewa dalam tubuhnya, dan dia baru menyadarinya. Ternyata dia ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi.
Setelah itu, mereka menempuh perjalanan menuju kediaman para resi di Sidhasrama. Sebelum tiba di Sidhasrama, Rama, Laksmana, dan Resi Wiswamitra melewati hutan Dandaka. Di hutan tersebut, Rama mengalahkan rakshasi Tataka dan membunuhnya. Setelah melewati hutan Dandaka, Rama sampai di Sidhasrama bersama Laksmana dan Resi Wiswamitra. Di sana, Rama dan Laksmana melindungi para resi dan berjanji akan mengalahkan rakshasa yang ingin mengotori pelaksanaan yadnya yang dilakukan oleh para resi. Saat rakshasa Marica dan Subahu datang untuk megotori sesajen dengan darah dan daging mentah, Rama dan Laksmana tidak tinggal diam. Atas permohonan Rama, nyawa Marica diampuni oleh Laksmana, sedangkan untuk Subahu, Rama tidak memberi ampun. Dengan senjata Agneyastra atau Panah Api, Rama membakar tubuh Subahu sampai menjadi abu. Setelah Rama membunuh Subahu, pelaksanaan yadnya berlangsung dengan lancar dan aman.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kondangan

NGLINTING MBAKO

Nonton YOWES BEN 2 di Ponorogo